Kajian Al - qur'an

KAJIAN QURAN (3)

MELIHAT DAN BERFIKIR YANG BAIK

Secara spiritual, melihat dan berpikir baik lebih pasti mengantarkan manusia pada kebaikan dariapda sebaliknya. Terlebih kala semua kebaikan yang tadinya berada di dalam pikiran dan hati itu mewujud menjadi amal.

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Surah al-Zalzalah [99]: 7).

Dalam kata yang lain daripada mengutuk keadaan atau berpikir buruk terhadap keadaan yang tidak diharapkan, menemukan hikmah dan berusaha tetap dalam kebaikan dalam segala dimensinya jauh lebih mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan. Terlebih Islam memastikan bahwa tidak ada kebaikan melainkan akan dibalas kebaikan pula. “Jika kalian berbuat Baik (berarti) kalian berbuat Baik untuk dirimu sendiri,Dan jika kalian berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.” (QS: Al Isra [17] : 7).(ekoborneo)

Sumber : Majalah Mulia Januari 2020

KAJIAN QURAN (1)

AJARI KELUARGA ADAB DAN ILMU

at tahrim 6

 

 

 

 

 

“ Wahai orang-orang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraga yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” ( At-Tahrim [66]:6)

images-1Entah dari mana bermula, saat ini berkembang pemahaman bahwa orang yang berpendidikan itu identik dengan bersekolah formal. Sebaliknya , yang tak mampu bersekolah dianggap tak berilmu.

Tentu saja hal itu tidak benar. Pandangan tersebut keliru jika seseorang lalu membatasi pendidikan dan menuntut ilmu itu hanya sebatas lingkup institusi formal saja. Seolah di luar itu dianggap tidak bisa belajar dan menuntut ilmu. Padahal, proses pendidikan atau proses belajar itu bukan hanya urusan di sekolah saja, tapi di rumah atau tempat lain.

Tak masalah jika mampu menempuh pendidikan formal setinggi-tingginya. Sebab itu merupakan pintu kebaikan bagi seseorang. Diharapkan, semakin tinggi pendidikannya semakin bertambah pula ilmunya, dan kian besar harapan agar bisa berbagi dan bermanfaat sebanyak mungkin di masyarakat.

Ayat di awal menerangkan fingsi utama keluarga, yaitu saling menjaga diri dari jilatan api neraka. Secara khusus Allah SWT menyebut hal itu sebagai perintah sekaligus kewajiban bagi setiap orangtua.Mufassir Imam ath-Thabari menghimpun beberapa pendapat ulama tentang perintah “menjaga keluarga” tersebut. Berkata Ali bin Abi Thalib: “Ajarilah anak-anak kalian adab dan ilmu. Ibnu Abbas berkata, “ Perbanyaklah amalan di atas ketaatan kepada Allah SWT. Takutlah dari berbuat maksiat kepada Allah SWT. Sebagaimana suruhlah keluargamu untuk memperbanyak dzikir. Niscaya perbuatan itu bisa menyelamatkan kalian dari jilatan api neraka.” Adapun Mujahid berkata, “ Bertaqwalah kepada Allah SWT dan perintahkan keluargamu untuk takut kepada-Nya.”

Qatadah menambahkan, hendaknya seorang Muslim menyuruh keluarganya kepada ketaatan dan melarang mereka bermaksiat. Lebih jauh lagi, seorang pemimpin keluarga wajib mengayomi keluarga dan membimbing mereka dalam menjalani ketaatan tersebut. Seorang pemimpin keluarga pula  yang harus bertanggung jawab untuk menghindarkan keluarganya dari segala maksiat yang ada, sedangkan ad-Dhahhak dan  Muqatil mengatakan, seorang Muslim punya kewajiban mengajarkan keluarganya, baik itu istri, anak, kerabat, dan hamba sahanyanya sekalipun. Pengajaran itu meliputi perkara yang telah diwajibkan oleh Allah SWT kepada mereka dan apa-apa yang menjadi larangan-Nya selama ini (Tafsir Jami al-Bayan fi Ta’wil al- Qur’an ).

Senada dengan itu, ahli tafsir lainnya, Imam al-Qurthubi mengutip sebuah pendapat yang menyatakan,” Maka kami wajib mengajari istri dan anak-anak kami dengan agama dan kebaikan, serta mencukupi mereka dengan pengajaran adab”.

Dengan uraian para ulama tafsir tersebut, tampak terang bahwa keluarga memilki peran penting sebagai pondasi awal di dalam meraih kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akherat kelak. Bagi seorang Muslim, keluarga tak hanya bicara urusan rumah tangga dan segala pernik-pernik permasalahannya. Ia tak hanya mengurus hubungan antara suami dan istri atau orangtua dengan anak-anaknya serta anak dengan saudaranya. Tapi juga mencakup upaya nyata setiap keluarga agar saling menjaga dan mengingatkan dalam menggapai keselamatan.

Layaknya sebuah institusi pendidikan, sebuah keluarga muslim harus selalu mengacu kepada visi-misi yang telah digariskan sebelumnya. Perintah menuntut ilmu itu tiada berbatas. Ini kewajiban yang telah dipikul sejak ia pertama kali lahir dalam buaian hingga tiba masanya ke liang lahat. Ini berlaku bagi siapa saja, tentu beban itu lebih berat kepada kedua orangtua sebagai pemimpin dalam sebuah keluarga. Setiap yaang terlahir dalam keadaan fitrah, hingga orangtua yang mengubahnya jadi Nasrani atau Majusi, demikian Nabi Muhammad SAW mengingatkan.

Muhammad Syed Naquib al-Attas, seorang tokoh pendidikan Melayu menggariskan tujuan suatu pendidikan. Ia berkata, dalam Islam pendidikan yang dimaksud untuk menciptakan manusia yang baik ( a good man ). Kriteria manusia yang baik adalah  manusia yang mampu memadukan antara adab dan ilmu yaang dimiliki. Orang dikatakan beradab ketika ia menempatkan segala sesuatu sesuai dengan tempat dan kedudukannya secara benar. Puncaknya, dengan ilmu yang dipunyai, orang itu bisa menempatkan dirinya sebagai hamba yang patuh di hadapan Sang Pencipta.

Tak heran, Ali bin Abi Thalib ketika menafsirkan perintah”menjaga keluarga”, ia berkata, “ Ajarilah anak-anak kalian adab dan ilmu.” Sebab terkadang bencana daan kerusakan yang terjadi bukan berasal dari kebodohan atau ketidaktahuan sekelompok orang. Tapi justru bersumber dari kecerdasan dan keluasan ilmu yang tidak ditopang dengan adab serta akhlak yang mulia. Ketika adab tercerabut dari ilmu, maka yang tampak adalah kerusakan daan kebinasaan. Alih-alih memberi manfaat kepada orang lain, yang ada justru keresahan dan kerusakan yang menyebar di tengah masyarakat.

Sekarang kita dipaksa mengelus dada ketika mendapati yang melanggar hukum itu ternyata orang yang sangat pandai dan paham merumuskan hukum. Yang mencoreng kemulian agama ini ternyata mereka lulusan dari pendidikan sekolah agama.

Karena itu, Imam az-Zarnuji mengurai pentingnya pendidikan adab dalam karangannya, kitab Taklim al-Muta’allim. Ia mengatakan, berapa banyak para penuntut ilmu yang telah berkorban semasa menuntut ilmu. Sayangnya, ia sendiri belum merasakan manisnya buah ilmu itu. Hal ini disebabkan karena mereka melupakan adab dalam menuntut ilmu. Tanpa adab, menurut az-Zarnuji , ilmu itu berjalan tanpa ruh dan makna.

Ibnu al- Jauzi menambahkan, ilmu yang diiringi dengan adab niscaya mengantar seorang hamba kian takut (khasyah) kepada Rabb-nya. Ia akan sadar diri betapa Allah Maha Mulia sedang seluruh makhluk adalah hina. Ia kian meyakini, semakin ia belajar justru kebodohan itu makin nyata dalam dirinya. Alhasil, persoalannya bukan pada seberapa tinggi pendidikan seorang, tapi seberapa adab itu menghiasi ilmu yang kita punyai (ekoborneo)

Sumber: Hidayatullah

 

KAJIAN QURAN (2)

BERJAMAAH  KITA LEBIH KUAT...

ali-imran

" Dan berpegang teguhlah kamu kepada agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya, kamu menjadi bersaudara" (Ali Imran [3}:103).

jamaah

Suatu ketika Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam berkata kepada para sahabatnya," Hampir terjadi keadaan dimana umat-umat lain akan mengerumuni kalian untuk menyantap kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana orang yang mengerumuni piring makanannya."

Salah seorang sahabat bertanya," Apakah karena sedikitnya jumlah kami ketika itu wahai Rasulullah?"

Rasulullah menjawab,"Bukan. Bahkan pada saat itu kalian  berjumlah banyak. Tapi kalian bagai buih yang terbawa air saat banjir."

Keadaan yang ditunjukkan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad ini rasa-rasanya sudah terasa saat sekarang. tak perlu melihat terlalu jauh, di negara kita saja serasa betapa sulit menegakkan kembali peradaban Islam yang kita rindukan bersama. Padahal jumlah kaum Muslimin jauh lebih banyak. Ini karena kebanyakan dari masyarakat Muslim di negeri ini hidup sendiri-sendiri. Sekadar bergabung dengan jamaah saja mereka enggan, apalagi mematuhi syariat Islam dan aturan-aturan jamaah.

Inilah tugas berat pengemban dakwah di negeri ini. Meski berat tetap harus kita laksanakan. (ekoborneo)

Sumber: Majalah MULIA edisi Juli 2017/Syawal 1438 H